Berlabuh di Ujung Barat Indonesia

12.03


"Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia tanah airku, aku berjanji padamu. Menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia.."

Terngiang potongan lirik lagu itu setiap kali saya membuka kembali memori tentang Sabang, kota paling ujung barat Indonesia. Kota yang mungkin hanya bisa kita kenali dengan baik melalui sebuah syair lagu, namun tidak semua orang menyadari betapa mempesonanya salah satu butiran surga yang ada di tanah ibu pertiwi ini.

Sabang Kota Nol Kilometer

Pagi itu Banda Aceh sedang diliputi awan gelap. Sepertinya matahari enggan bersua dengan kami. Pelabuhan Ulee-Lheue cukup ramai. Hari itu hari Jumat, 11 Desember 2015. Belum waktunya libur panjang memang. Maka tidak heran jika pelabuhan hanya dihiasi oleh segelintir turis asing maupun lokal. Saya sendiri mendapat kesempatan untuk mengunjungi Kota Sabang setelah selesai salah satu acara festival yang diadakan di Banda Aceh. Sabang hanya sebagai bonus. Namun bonus perjalanan inilah yang membuat saya semakin kagum dan bersyukur bisa merasakan nikmatnya tinggal di Indonesia. 

Perjalanan Banda Aceh-Sabang ditempuh dalam waktu 2 jam dengan menggunakan kapal ferry dan 45 menit dengan menggunakan kapal cepat. Saya beserta rombongan sengaja memilih kapal ferry, bukan hanya karena harga tiket yang lebih murah (15-25 ribu/perjalanan) dibandingkan kapal cepat (60-80 ribu/perjalanan), namun kami sekaligus ingin lebih menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan menuju Kota Sabang. Beruntung pagi itu hanya sedikit mendung dan angin kencang, hujan tidak sempat turun menyambut. Dan setelah dua jam mengarungi lautan akhirnya kami sampai juga di Pelabuhan Balohan, Sabang.

Pemandangan bebukitan hijau terhampar jelas di depan mata. Sabang mampu membuat saya jatuh hati sejak pertama kali kapal ferry yang kami naiki mulai bersandar. Sambil mengagumi sekitar, sambil saya membayangkan bagaimana rupa kondisi sekitar saya ini saat bencana tsunami melanda 11 tahun yang lalu. Menurut informasi yang saya dapat, kerusakan yang terjadi di Sabang memang tidak separah Banda Aceh. Tapi tetap saja bagi saya Tsunami Aceh di tahun 2004 adalah bencana besar yang patut selalu kita kenang dan jadikan sebagai pelajaran.

-&-

Kota Sabang adalah kota yang asri. Warna hijau pohon dan biru laut mampu berpadu dengan sempurna, membuat saya semakin excited untuk explore kota ini lebih jauh. Setelah berembug sebentar, akhirnya saya dan rombongan memutuskan untuk mengunjungi Titik Nol Kilometer terlebih dahulu. Yess! Bakal asik nih, pikir saya. Titik Nol Kilometer adalah salah satu destinasi wisata favorit dan paling populer. Gak mungkin dong kami melewatkan kesempatan untuk mengunjunginya :D

Pemandangan di perjalanan menuju Titik Nol Kilometer

Demi mengunjungi Titik Nol Kilometer Indonesia, kami membutuhkan kendaraan. Berhubung kami tidak menyewa mobil di Kota Sabang, alhasil kami memutuskan pergi ke penginapan dulu dan menyewa sepeda motor di dekat penginapan dengan harga sewa 50 ribu per hari. Dari penginapan, kami melanjutkan pertualangan ke Titik Nol Kilometer Indonesia.

Sekitar satu jam perjalanan kami tempuh, melewati perkotaan Sabang, tepi pelabuhan hingga masuk area perkampungan penduduk di antara pohon-pohon hutan wisata yang rindang dan sejuk. Karena akan melewati kawasan hutan yang masih benar-benar alami maka kita harus tetap berhati-hati. Air gunung mengalir pelan dari atas ke bawah sehingga terkadang membuat jalanan yang berkelok-kelok menjadi sedikit licin. Satu hal yang sangat saya sukai saat berada di sekitar hutan wisata ini yaitu hawa sejuknya yang membuat badan dan pikiran terasa sangat segar. Kualitas udara yang baik membuat kita bisa menikmati perjalanan dengan maksimal.  

Orang bilang, dari Tugu Nol Kilometer kita bisa melihat pemandangan yang menakjubkan. Ketinggiannya yang mencapai 22,5 meter membuat jarak pandang semakin luas. Namun sayang seribu sayang, ketika saya sampai di atas, ternyata Tugu Nol Kilometer sedang dalam tahap renovasi sehingga belum bisa dikunjungi. Sedih sih. Tapi positifnya, berarti masih ada alasan untuk kembali ke Sabang suatu hari nanti demi mengunjungi Tugu yang sudah selesai direnov dan mendapatkan sertifikat :D

FYI, setiap pengunjung yang telah mengunjungi Tugu Nol Kilometer ini memang seharusnya mendapatkan sertifikat sebagai bukti bahwa pernah mengunjungi Tugu Nol Kilometer Indonesia.

-&-


Salah satu motor peninggalan dari bencana tsunami
Pulang dari Titik Nol Kilometer, saya dan rombongan kembali menyusuri jalan yang kita lewati saat berangkat tadi. Ketika sampai di dekat Pantai Iboih, kami singgah sebentar untuk menikmati sore hari di pantai sambil mengamati anak-anak kecil yang sedang bermain-main di pantai. Pantai ini tidak terlalu luas, namun air lautnya sangat jernih. Di pinggir pantai juga terdapat beberapa barang peninggalan tsunami yang masih dipajang seperti motor, komputer, alat-alat perkantoran dan peralatan rumah tangga lainnya. Mungkin barang-barang ini sengaja dikelola agar menjadi pengingat kita akan peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. 

Saya pribadi yakin bahwa sebuah bencana tidak akan mudah membuat rakyat Indonesia mudah patah semangat, namun justru sebaliknya, dari bencana itu kita bisa kembali memupuk rasa persatuan dan kesatuan dengan bahu-membahu membantu saudara kita yang membutuhkan.

Bagi saya, Sabang tidak hanya mampu menunjukkan keelokan alamnya, namun juga memberikan pembelajaran dari sejarah-sejarahnya. Tugu Nol Kilometer merupakan titik batas wilayah Indonesia di bagian barat, membuat kita sadar betapa luasnya tanah air ini, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Negara kita negara kepulauan. Mungkin tidak mudah menjaga bagian-bagian dari negara ini, saking luasnya. Namun asalkan kita bisa tetap menjaga persatuan, maka tidak ada yang tidak mungkin. Begitu juga dengan tragedi tsunami Aceh di Tahun 2004. Masih lekat di ingatan saya, saat itu saya duduk di bangku SMP dan berdoa bersama-sama guru dan teman satu sekolah untuk para korban tsunami yang telah wafat. Bencana itu bukan bencana kecil yang satu dua minggu sudah mudah dilupakan. Tsunami Aceh 2004 adalah suatu momen dimana hati kecil kita, bukan hanya dari Sabang sampai Merauke, namun dari seluruh warga dunia telah terketuk oleh rasa kemanusiaan, berlomba-lomba mengulurkan tangan demi meringankan beban sesama. 

-&-

Dalam bercerita, terkadang satu halaman penuh pun masih terasa kurang. Saya tidak mungkin menceritakan petualangan saya selama di Sabang dengan sangat detail. Selain takut terlalu membosankan, saya juga lebih suka sharing tentang pengalaman-pengalaman yang gak terlupakan dan nagih. Kali ini tentang Sabang dan Titik Nol Kilometer. Selanjutnya saya akan coba bercerita tentang salah satu penginapan ngehits dan keren banget di Kota Sabang. Penginapan yang bikin saya selalu pengen balik lagi, karena orang-orangnya, karena makanannya, karena kamarnya, dan karena pantainya. Ada yang bisa nebak nama penginapan ini? :D

to be continued..

You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter