Gak ada yang lebih menyenangkan selain menyatu dengan alam. Buat saya, alam itu sumber kehidupan dan sumber inspirasi. Alam punya caranya sendiri untuk saling berkomunikasi. Alam punya rahasianya sendiri yang mungkin tidak mudah kita pahami. Alam adalah hasil ekspresi seni yang Tuhan ciptakan untuk kita.
Sejak kecil saya tinggal di daerah perkotaan. Kalau dibilang dekat dengan alam juga enggak. Karena nemu sawah sepetak-duapetak aja mungkin gak gampang. Tapi saya suka berinteraksi dengan alam. Saat lagi sendiri dan pengen merenung, saya berjalan ke halaman belakang, duduk santai sambil merhatiin langit kala itu, tenang rasanya. Lihat semburan awan putih yang dihiasi latar warna biru ataupun coba menemukan perbedaan antara planet dan bintang di malam hari. Ah, saya rindu masa-masa itu.
Perjalanan dinas saya selama di Kemenpar memang lebih di dominasi oleh laut dan pantai. Maklum, Indonesia memang surganya underwater. Dua per tiga wilayah Indonesia didominasi oleh perairan, bikin negeri ini terkenal dengan pesona lautnya. Kalaupun badan gosong, pasti juga gosong karena pantai. Tapi kira-kira sensasi berpetualang di kawasan hutan dan sungai sama aja kayak di laut dan pantai, atau lebih menantang ya? Dan pertanyaan saya akhirnya terjawab saat saya mendapat kesempatan untuk mendampingi media trip ke Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Tiga hari dua malam saya menjelajah alam Sekonyer. Berangkat dari Jakarta pukul 09.15 sampai di Pangkalan Bun pukul 10.20 WIB. Dari bandara kami langsung menuju pelabuhan Kumai yang dapat ditempuh sekitar 30 menit. Kumai kota yang kecil dengan jumlah penduduk kurang lebih 8000 jiwa. Di sepanjang perjalanan saya banyak melihat rumah dengan bangunan cukup tinggi yang ternyata banyak digunakan penduduk Kumai untuk berternak sarang burung walet. Meski kota kecil, namun iklim bisnis yang bagus cukup terasa di Kumai. Gak heran banyak investor lokal maupun asing yang sengaja beli tanah di Kumai buat bikin ternak sarang burung walet.
Sesampainya di pelabuhan Kumai, kami naik perahu menyusuri sungai Sekonyer. Dari sini lah petualangan dimulai. Bener-bener pertama kalinya naik perahu klotok kayak begini, bakal live on board juga, jadi seharian penuh hidupnya di kapal klotok, kecuali kalau turun buat ke hutan nyari orang utan ya, hehe.. Jadi perjalanan saya ke Tanjung Puting memang mengandung misi penting, yaitu bertemu dengan orang utan dan menikmati sentuhan hangat dari alam Sekonyer.
Ada tiga jenis camp yang kami kunjungi saat itu, yaitu Tanjung Harapan, Pondok Tanggui dan Camp Leaky. Karakteristik dari masing-masing camp pada dasarnya memang berbeda.
1. Tanjung Harapan,
Sesampainya kami di pelabuhan, kami turun dari kapal secara perlahan dan berkumpul di depan Pos Taman Nasional untuk menerima arahan dan intruksi dari para ranger. Berhubung medan yang akan kita lalui adalah hutan asli, maka petugas mengingatkan untuk tetap berada dalam rombongan agar tidak terpisah. Lokasi feeding orang utan di sini gak terlalu jauh dari pos, mungkin sekitar 1 km. Tapi karena kita baru sampai pukul 4 sore, kita hanya punya waktu satu jam untuk melihat orang utan. Suasana hutan di Tanjung Harapan sudah mulai gelap sore itu. Batas waktu maksimal feeding adalah jam 5 sore. Beruntung sesampainya di lokasi feeding kami bisa bertemu dengan satu orang utan yang lagi asik makan pisang. Eits, ketika sedang berada di dalam hutan, usahakan patuh sama aturan-aturan di hutan ya seperti ketika ada papan tulisan "SILENT PLEASE!" ya kita harus diem beneran, jangan berisik. Sama halnya kita bertamu ke rumah orang, harus ikut aturan yang punya rumah kan. Demi kenyamanan penghuni hutan juga. Ya meski namanya orang Indonesia, kadang baca tulisan aja gak cukup, justru kalah sama anak-anak kecil bule yang ngomong atau berantem aja mereka bisik-bisik karena gak mau ganggu orang utan yang lagi asik makan.
2. Pondok Tanggui
Lokasi kedua ini kami kunjungi keesokan harinya. Setelah bermalam di pelabuhan Tanjung Harapan, kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Tanggui. Prosedur yang harus dilalui sama halnya dengan Tanjung Harapan, kita wajib ikut briefing dulu baru masuk ke hutan. Jarak lokasi feeding di Pondok Tanggui lebih jauh sedikit dibandingkan Tanjung Harapan, sekitar 2km. Sambil jalan, sambil kita nikmatin suasana hutan pagi itu. Sayang sekali di beberapa lokasi, pohon-pohon di Pondok Tanggui sudah banyak yang tumbang dan habis karena efek kebakaran hutan di musim kemarau, sedih lihatnya. Setelah lelah berjalan, akhirnya sampai juga kita di feeding ground. Suara-suara memanggil orang utan terdengar jelas. Untuk menarik orang utan keluar dari sarangnya, para ranger memang berusaha bersuara keras seperti orang utan agar dikira kawannya, jadi mereka keluar. Gelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain, terlihat orang utan di Pondok Tanggui merasa agak kurang nyaman dengan kedarangan banyak pengunjung. Ditambah ada pengunjung yang gak bisa baca aturan (dan lagi-lagi orang Indonesia) berisiknya minta ampun, sampe bule-bule pada protes buat nyuruh mereka diem. Suara berisik orang ngobrol bikin orang utan gak nyaman dan enggan untuk turun ke lokasi feeding buat ambil makanan. Alhasil satu jam lebih kami nongkrong di feeding ground, cuman satu orang utan aja yang ebrani turun, itupun dia ambil pisang agak banyak terus naik ke atas pohon lagi makan di pohon.
3. Camp Leaky
Ada yang pernah dengar nama Siswi? Orang utan di Camp Leaky yang terkenal paling agresif dan punya background memilukan. Konon katanya siswi stress karena ditinggal mati anaknya, dan baru saja ibunya meninggal juga. Sebenarnya Siswi orang utan yang tergolong cerdas di antara orang utan yang lain, namun karena punya banyak masalah pribadi jadi akhirnya suka bikin ulah deh. Bahkan saking semangatnya rombongan kami ketemu Siswi, sesampainya di Camp Leaky kami langsung bertanya kepada mbak-mbak ranger, Siswi lagi dimana? Namun sayangnya kami belum beruntung, Siswi sudah menghilang selama 3 minggu karena abis mencuri HP salah satu petugas. Duh, Siswi, nakal sekali kau nak, padahal kan kita udah pengen ketemu kamu XD, haha.. Karakteristik orang utan di Camp Leaky memang agak berbeda dibandingkan dua camp sebelumnya. Di sini orang utan bisa jalan-jalan dengan santai dimana aja, gak cuman di area feeding. Jadi gak perlu takut waktu ketemu kereka di jembatan, diem aja gak usah macem-macem, persilahkan mereka lewat. Pengunjung dilarang memegang orang utan, kalau ada petugas yang lihat salah satu pengunjung berulah, wah, udah pasti diperingatkan dg keras ntar. Termasuk no flash waktu ambil foto ya, karena cahaya dari flash kamera bisa bikin orang utan buta. Tentunya kalian gak pengen populasi orang utan berkurang kan? Biar anak cucu kita nantinya bisa ketemu orang utan juga :))
Sejak kecil saya tinggal di daerah perkotaan. Kalau dibilang dekat dengan alam juga enggak. Karena nemu sawah sepetak-duapetak aja mungkin gak gampang. Tapi saya suka berinteraksi dengan alam. Saat lagi sendiri dan pengen merenung, saya berjalan ke halaman belakang, duduk santai sambil merhatiin langit kala itu, tenang rasanya. Lihat semburan awan putih yang dihiasi latar warna biru ataupun coba menemukan perbedaan antara planet dan bintang di malam hari. Ah, saya rindu masa-masa itu.
Perjalanan dinas saya selama di Kemenpar memang lebih di dominasi oleh laut dan pantai. Maklum, Indonesia memang surganya underwater. Dua per tiga wilayah Indonesia didominasi oleh perairan, bikin negeri ini terkenal dengan pesona lautnya. Kalaupun badan gosong, pasti juga gosong karena pantai. Tapi kira-kira sensasi berpetualang di kawasan hutan dan sungai sama aja kayak di laut dan pantai, atau lebih menantang ya? Dan pertanyaan saya akhirnya terjawab saat saya mendapat kesempatan untuk mendampingi media trip ke Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Tiga hari dua malam saya menjelajah alam Sekonyer. Berangkat dari Jakarta pukul 09.15 sampai di Pangkalan Bun pukul 10.20 WIB. Dari bandara kami langsung menuju pelabuhan Kumai yang dapat ditempuh sekitar 30 menit. Kumai kota yang kecil dengan jumlah penduduk kurang lebih 8000 jiwa. Di sepanjang perjalanan saya banyak melihat rumah dengan bangunan cukup tinggi yang ternyata banyak digunakan penduduk Kumai untuk berternak sarang burung walet. Meski kota kecil, namun iklim bisnis yang bagus cukup terasa di Kumai. Gak heran banyak investor lokal maupun asing yang sengaja beli tanah di Kumai buat bikin ternak sarang burung walet.
Sesampainya di pelabuhan Kumai, kami naik perahu menyusuri sungai Sekonyer. Dari sini lah petualangan dimulai. Bener-bener pertama kalinya naik perahu klotok kayak begini, bakal live on board juga, jadi seharian penuh hidupnya di kapal klotok, kecuali kalau turun buat ke hutan nyari orang utan ya, hehe.. Jadi perjalanan saya ke Tanjung Puting memang mengandung misi penting, yaitu bertemu dengan orang utan dan menikmati sentuhan hangat dari alam Sekonyer.
Ada tiga jenis camp yang kami kunjungi saat itu, yaitu Tanjung Harapan, Pondok Tanggui dan Camp Leaky. Karakteristik dari masing-masing camp pada dasarnya memang berbeda.
1. Tanjung Harapan,
Sesampainya kami di pelabuhan, kami turun dari kapal secara perlahan dan berkumpul di depan Pos Taman Nasional untuk menerima arahan dan intruksi dari para ranger. Berhubung medan yang akan kita lalui adalah hutan asli, maka petugas mengingatkan untuk tetap berada dalam rombongan agar tidak terpisah. Lokasi feeding orang utan di sini gak terlalu jauh dari pos, mungkin sekitar 1 km. Tapi karena kita baru sampai pukul 4 sore, kita hanya punya waktu satu jam untuk melihat orang utan. Suasana hutan di Tanjung Harapan sudah mulai gelap sore itu. Batas waktu maksimal feeding adalah jam 5 sore. Beruntung sesampainya di lokasi feeding kami bisa bertemu dengan satu orang utan yang lagi asik makan pisang. Eits, ketika sedang berada di dalam hutan, usahakan patuh sama aturan-aturan di hutan ya seperti ketika ada papan tulisan "SILENT PLEASE!" ya kita harus diem beneran, jangan berisik. Sama halnya kita bertamu ke rumah orang, harus ikut aturan yang punya rumah kan. Demi kenyamanan penghuni hutan juga. Ya meski namanya orang Indonesia, kadang baca tulisan aja gak cukup, justru kalah sama anak-anak kecil bule yang ngomong atau berantem aja mereka bisik-bisik karena gak mau ganggu orang utan yang lagi asik makan.
2. Pondok Tanggui
Lokasi kedua ini kami kunjungi keesokan harinya. Setelah bermalam di pelabuhan Tanjung Harapan, kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Tanggui. Prosedur yang harus dilalui sama halnya dengan Tanjung Harapan, kita wajib ikut briefing dulu baru masuk ke hutan. Jarak lokasi feeding di Pondok Tanggui lebih jauh sedikit dibandingkan Tanjung Harapan, sekitar 2km. Sambil jalan, sambil kita nikmatin suasana hutan pagi itu. Sayang sekali di beberapa lokasi, pohon-pohon di Pondok Tanggui sudah banyak yang tumbang dan habis karena efek kebakaran hutan di musim kemarau, sedih lihatnya. Setelah lelah berjalan, akhirnya sampai juga kita di feeding ground. Suara-suara memanggil orang utan terdengar jelas. Untuk menarik orang utan keluar dari sarangnya, para ranger memang berusaha bersuara keras seperti orang utan agar dikira kawannya, jadi mereka keluar. Gelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain, terlihat orang utan di Pondok Tanggui merasa agak kurang nyaman dengan kedarangan banyak pengunjung. Ditambah ada pengunjung yang gak bisa baca aturan (dan lagi-lagi orang Indonesia) berisiknya minta ampun, sampe bule-bule pada protes buat nyuruh mereka diem. Suara berisik orang ngobrol bikin orang utan gak nyaman dan enggan untuk turun ke lokasi feeding buat ambil makanan. Alhasil satu jam lebih kami nongkrong di feeding ground, cuman satu orang utan aja yang ebrani turun, itupun dia ambil pisang agak banyak terus naik ke atas pohon lagi makan di pohon.
3. Camp Leaky
Ada yang pernah dengar nama Siswi? Orang utan di Camp Leaky yang terkenal paling agresif dan punya background memilukan. Konon katanya siswi stress karena ditinggal mati anaknya, dan baru saja ibunya meninggal juga. Sebenarnya Siswi orang utan yang tergolong cerdas di antara orang utan yang lain, namun karena punya banyak masalah pribadi jadi akhirnya suka bikin ulah deh. Bahkan saking semangatnya rombongan kami ketemu Siswi, sesampainya di Camp Leaky kami langsung bertanya kepada mbak-mbak ranger, Siswi lagi dimana? Namun sayangnya kami belum beruntung, Siswi sudah menghilang selama 3 minggu karena abis mencuri HP salah satu petugas. Duh, Siswi, nakal sekali kau nak, padahal kan kita udah pengen ketemu kamu XD, haha.. Karakteristik orang utan di Camp Leaky memang agak berbeda dibandingkan dua camp sebelumnya. Di sini orang utan bisa jalan-jalan dengan santai dimana aja, gak cuman di area feeding. Jadi gak perlu takut waktu ketemu kereka di jembatan, diem aja gak usah macem-macem, persilahkan mereka lewat. Pengunjung dilarang memegang orang utan, kalau ada petugas yang lihat salah satu pengunjung berulah, wah, udah pasti diperingatkan dg keras ntar. Termasuk no flash waktu ambil foto ya, karena cahaya dari flash kamera bisa bikin orang utan buta. Tentunya kalian gak pengen populasi orang utan berkurang kan? Biar anak cucu kita nantinya bisa ketemu orang utan juga :))
-&-
Well, pada dasarnya pengalaman saya keliling Tanjung Puting, ketemu orang utan, susur sungai alam Sekonyer bener-bener luar biasa, awesome! Rasanya seperti kembali pada alam, refreshingnya dapet, tenangnya dapet, takjubnya sama ciptaan Allah juga dapet banget. Di sini saya bisa lihat pelangi yang super cakep setelah hujan di Tanjung Harapan, pertama kali ketemu bekantan yang suka ayun-ayunan di pohon waktu sore hari, dan yang paling penting bisa ke habitat orang utan dan merhatiin tingkah mereka yang super lucu dan gemesin, terutama orang utan kecil itu biasanya yang paling jail suka goda-godain pengunjung, hihi.. Jadi, masih tunggu apalagi? Pack your bag, book your ticket! Tanjung Puting is waiting for you.