Beasiswa S2 - Perjuangan Belum Berakhir

15.45

 


Nilai IELTS udah sesuai target bikin saya lebih lega. Setidaknya satu PR selesai. And believe it or not, emang ya, ketika kita fokus dengan nilai bahasa Inggris terlebih dahulu, pintu-pintu yang lain jadi lebih mudah kebuka. Kalo kata Pak Sony, melamar beasiswa itu mirip dengan kerja fulltime, harus serius dari awal sampe akhir. Jangan lupa rencanakan strateginya dengan matang juga, step by step diselesaikan, Insyaallah pasti bisa sukses. Saran beliau akhirnya saya ikuti, fokus ke IELTS, baru kemudian fokus ke beasiswanya.

IELTS beres, lanjut mau latihan bikin essay beasiswa. Mungkin ada yang bertanya, emang perlu banget ya kita latian membuat essay? Kalo menurut saya tentu sangat perlu. Essay adalah sarana yang digunakan dalam menilai kandidat penerima beasiswa di tahap awal, salah satu faktor penentu utama lolos enggaknya kita di tahap paling awal. Oleh sebab itu, kita harus bisa memaksimalkan essay beasiswa agar bisa lolos seleksi awal dan lanjut ke tahapan berikutnya.

Saya memilih latian menulis essay sambil apply beasiswa yang sedang dibuka saat itu, yaitu Chevening, Swedish Institute Scholarship dan New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS). 

Percobaan ke-1 Chevening di tahun 2019. Dalam proses aplikasi beasiswa ini nothing to lose sih, karena niat saya dari awal pengen latian dulu bikin essay yang bener, yang bisa menggambarkan urgensi saya kenapa butuh melanjutkan pendidikan ke luar negeri dan mengambil jurusan tertentu. Meskipun nothing to lose, bukan berarti saya gak serius. Justru saya makin semangat mencapai target skor IELTS, cari info sebanyak mungkin, bahkan saya sempat ikut program mentorship yang diadakan oleh Chevening Alumni Indonesia. Saya kenalan dengan Mbak Enggi, alumni Chevening 2017 yang ditunjuk sebagai mentor saya. Proses mentorship diadakan offline dan online. Bersyukur rasanya bisa kenalan dan dibimbing sama Mbak Enggi, karena banyak banget masukan yang saya dapet dari beliau. 

Sambil siapkan essay dan aplikasi, saya juga mulai apply ke kampus tujuan. Jadi untuk Chevening, sebenernya gak wajib melampirkan LoA di awal aplikasi, namun jika sudah ada akan lebih baik. Di sinilah saya merasakan manfaat menyelesaikan PR IELTS terlebih dahulu. Dengan overall band 7, alhamdulillah saya dapat Unconditional LoA dari 4 (empat) kampus sekaligus, yaitu Bournemouth University, University of Surrey, University of Nottingham dan University of Exeter. Tiga LoA diantaranya saya attach ke aplikasi beasiswa Chevening. Ketika essay selesai dan aplikasi siap, saya mulai submit. Sekitar Februari 2020 saya mendapat email dari Chevening Secretariat yang isinya saya belum lolos beasiswa ini. Ternyata punya LoA juga belum bisa menjamin aplikasi lolos di tahap pertama ya. Sedih? Tentunya :D Tapi gak apa-apa, saya menganggap kegagalan ini mengurangi jatah gagal saya. Yang harus saya lakukan setelah ini adalah melakukan evaluasi aplikasi yang gagal kemarin, terus semangat dan pantang menyerah.

Pengumuman hasil seleksi Chevening 2019

Percobaan ke-1 Swedish Institute Scholarship di tahun 2019. Sebelumnya gak pernah kebayang mau melanjutkan studi di Swedia. Waktu konsultasi terkait hal ini dengan Pak Sony, beliau menyampaikan bahwa sistem pendidikan di Swedia itu bagus, jadi gak ada salahnya saya coba. Dalam proses penyusunan essay beasiswa Chevening dan Swedia agak berbeda karena pertanyaan essaynya beda dan concern masing-masing beasiswa juga tidak sama, sehingga perlu ada penyesuaian. 

Untuk beasiswa Swedia ini mereka sangat concern dengan sustainability, sehingga saya lebih cenderung menunjukkan pengalaman terkait sustainable tourism. Sedangkan terkait aplikasi kampus, saya harus apply secara paralel melalui situs www.universityadmission.se dan hasilnya saya mendapat LoA dari Lund University. Tahapan aplikasi beasiswa Swedia memang agak unik dan beda dari aplikasi beasiswa lain. Mungkin next time saya akan share pengalaman ini dengan lebih detil. Lagi-lagi mendapat LoA gak menjadi jaminan lolos beasiswa. 

Sekitar akhir April 2020 saya mencoba cek pengumuman beasiswa di situ si.se. Sesuai jadwal pengumuman yang telah ditentukan, di situ sudah ada file pdf berisi no aplikasi beasiswa yang lolos dan saya gak nemuin no aplikasi beasiswa saya alias gagal untuk yang ke-empat kalinya, hehe.. Huff, campur aduk saat itu rasanya. Karena di bulan Maret kan udah mulai ada pandemi Covid-19 di Indonesia dan di beberapa negara. Jadi ketika tau gak lolos, antara sedih dan ikhlas karena banyak ketidakpastian yang terjadi. Tapi tetep sih, evaluasi kegagalan tersebut saya lakukan, kira-kira apa yang kurang dari aplikasi kemarin dan bisa saya jadikan bekal untuk menyusun aplikasi beasiswa selanjutnya.

Percobaan ke-1 New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS) di tahun 2020. Di awal tahun 2020, saya juga coba apply beasiswa NZAS. Kepikiran mau apply ini karena ada temen sekantor yang alumni NZAS. Waktu sharing bareng temen, sebenernya dia udah ngingetin sih kalo tourism bukan salah satu target utama dari beasiswa ini. New Zealand sangat bagus buat yang pengen belajar pertanian dan peternakan. Jadi pasti cukup struggle dalam menyampaikan urgensi di essay beasiswa ini. Hal itu saya alami juga waktu riset tentang universitas tujuan, gak banyak pilihan buat jurusan pariwisata. Tapi ya udah, karena saya nothing to lose ingin mencoba, jadinya apply aja. Beasiswa ini juga gak mewajibkan pendaftar buat submit LoA di awal, jadi prosesnya emang mirip AAS, fokus ke beasiswanya dulu, baru nanti kalo lolos bakal ada pelatihan bahasa Inggris dari pihak beasiswanya, kemudian dibantu mendaftar di universitas tujuan. Sekitar minggu terakhir bulan Maret 2020, saya dapet email pengumuman dan hasilnya masih belum beruntung :D

Pengumuman hasil seleksi NZAS 2020

You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter