Para Generasi Penghafal dalam Kegagapan Pendidikan di Indonesia

17.10



Kurikulum pendidikan di Indonesia tak ubahnya seperti bunglon, cepat berubah warna menyesuaikan lingkungan. Ketika terjadi pergantian kabinet dalam pemerintah, maka berganti pula aturan pendidikan dalam negeri ini. Wajah corat-marit pendidikan Indonesia seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab semakin mundurnya perkembangan dunia pendidikan kita.

Sejak dulu, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi, seseorang yang mengenyam bangku sekolah senantiasa diajarkan bagaimana caranya menghafal materi suatu pelajaran. Guru sebagai pembimbing cenderung akan merasa lebih senang ketika siswa-siswanya dapat menyebutkan materi pelajaran dengan tepat, sama persis sesuai isi buku. Padahal, sekalipun mereka dapat menghafal, belum tentu mereka mampu memahami makna yang lebih penting pada pelajaran tersebut. 

Penjejalan materi hafalan bagi generasi penerus bangsa tanpa disadari telah membuat banyak anak-anak negeri ini kelimpungan karena mereka tidak mampu mencerna materi dengan baik. Alhasil, jangankan dalam beberapa tahun, sekarang saja mungkin dalam beberapa hari mereka sudah bisa lupa dengan apa yang telah mereka hafalkan.

Teringat celoteh salah satu kawam dua minggu yang lalu. Ketika dia bertanya kepada sang kakak yang notabene adalah Sarjana Ekonomi mengenai beberapa pembahasan bab mata kuliah statistika di semester dua, sang kakak dengan santainya hanya menjawab bahwa dia sudah lupa. Saya pun lantas berpikir, apakah jika 3 tahun ke depan setelah saya lulus kuliah dan ada seseorang bertanya mengenai materi kuliah selama di bangku perguruan tinggi ini, saya akan mengeluarkan jawaban yang sama? 

Pada kasus yang berbeda, salah satu dosen saya pun pernah bercerita mengenai keluhan dari para perusahaan yang biasa merekrut karyawan dari universitas-universitas terkemuka di Indonesia. Mereka berkata bahwa para pelamar kerja tersebut rata-rata memiliki nilai indeks pretasi yang cukup tinggi, namun ketika ditanya mengenai penerapan ilmu yang nyata sesuai bidang mereka tersebut, hanya sebagian kecil yang dapat menjawab. Sebagian besar lainnya ternyata hanya pintar dalam teori, namun tidak cerdas dalam pemahaman materi. 

Hafalan masih sangat mewarnai proses pembelajaran di lembaga pendidikan bangsa ini. Ironisnya manusia-manusia berpredikat pelajar tersebut masih saja terus dijejali oleh deretan hafalan dan dipaksa untuk menjadi kamus berjalan. Guru sebagai pengajar kini justru berubah menjadi pencetak generasi penghafal. Tapi tentu tidak hanya guru yang menjadi pihak terlibat, tetapi pemerintah dan budaya yang ada di dalam masyarakat juga perlu ditinjau ulang.

Kurikulum, budaya dan metode pembelajaran dalam dunia pendidikan harus lebih banyak diperbaiki. Generasi pelajar seharusnya tidak hanya diberi pembelajaran secara tekstual, namun juga secara kontekstual. Dengan adanya pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL), guru dapat mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya di lingkungan nyata sekitarnya.

Para pelajar di negeri ini bukanlah robot yang hanya bisa menghafal dan menghafal . Namun generasi muda bangsa Indonesia juga memiliki kemampuan untuk berpikir, merasakan dan menerapkan ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di bangku sekolah. Dengan pemahaman materi yang direfleksikan dalam dunia nyata, maka pelajar-pelajar Indonesia tentu akan mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi kemajuan bangsa ini. Namun jika hanya berbekal hafalan materi, kontribusi yang nyata hanya akan menjadi kamuflasi yang tidak dapat dirasakan secara real.

You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter