Dunia Tanpa Digital, Yes or No?

10.19


Koran bukan lagi menjadi favorit saya dalam mencari informasi terkini. Tak perlu menunggu langganan koran datang di pagi hari, saat bangun tidurpun saya sudah bisa mendapatkan informasi terbaru melalui satu layar kecil bernama smartphone. Cukup praktis bukan?

Ya, itulah dunia kita sekarang, dunia yang penuh dengan digitalisasi. Tak perlu beranjak jauh dari tempat duduk saja, kita sudah bisa mendapatkan apa yang kita butuhkan. Mau pesan tiket kereta api? Tinggal klik situs pemesanan tiket online, kode booking sudah di tangan. Mau pesan seporsi pizza? Tak perlu repot ke restoran pizza, tinggal buka saja situs resmi restoran dan lakukan pemesanan online, hidangan pizza akan siap tersaji di depan mata kita dalam hitungan menit. Atau mungkin ada juga yang sedang rindu dengan sahabat lama? Tak perlu susah membuat janji bertemu, cukup say hello lewat media sosial, rasa rindu akan terobati. Namun, apakah kehidupan seperti ini yang benar-benar kita inginkan?  

Suatu pagi, saat saya sudah cukup jenuh dengan koneksi internet yang serba bermasalah, saya selalu berusaha mengalihkan pandangan pada segala hal di sekitar saya. Satu tumpuk koran hari itu membuat saya tertarik. Dalam hati saya berpikir, “oke, mungkin koran ini bisa membunuh kebosanan saya sejenak.” Dan ternyata benar. Baru sekilas saya melihat, mata saya langsung tertuju pada tulisan Azrul Ananda pagi itu. Sang maestro media membuat tulisan yang berjudul “Tenangnya Hidup Offline”. Dalam tulisannya, Azrul menekankan bagaimana asyiknya hidup offline seperti dulu. Saat kita masih senang saling berkirim surat dengan sahabat maupun orang spesial kita, saat kita hanya mengenal telepon kabel yang hanya bisa digunakan sesekali karena mahalnya biaya komunikasi, saat kita lebih memilih untuk bertemu langsung dengan kawan yang dirindukan, maupun saat kita bisa lebih tepat waktu ketika ada janji bertemu. Sungguh kenangan yang sangat indah menurut saya.

Saya sendiri baru mengenal telepon genggam atau handphone ketika saya berusia 10 tahun. Meskipun saat itu sudah ada beberapa teman yang memamerkan handphone barunya, saya masih belum tertarik. Bagi saya, berkomunikasi lewat telepon rumah sudah cukup. Ya, secara tidak langsung, saya setuju dengan pendapat Azrul, bahwa hidup offline itu memang sangat menyenangkan.

Teringat kenangan masa kecil saya. Setiap kali menjelang hari raya Idul Fitri, saya pasti merengek pada ayah untuk diantarkan ke toko buku. Sesampainya di toko buku, box kartu ucapan selamat hari raya selalu menjadi tempat persinggahan saya yang utama. Berbagai macam desain kartu ucapan saya pilih dan saya berikan pada ayah untuk dibayarkan ke kasir. Setelah itu apa yang saya lakukan? Sama halnya kartu ucapan yang sering kita temui, pasti ada ruang kosong yang disediakan bagi kita untuk menulis kata-kata ucapan bukan? Di situ saya tulis kata-kata ucapan selamat hari raya Idul Fitri beserta tanda tangan saya, kemudian saya masukkan kartu ucapan tersebut ke amplop. Setelah itu saya menuju ke kantor pos untuk membeli perangko dan mengirimkan kartu ucapan tersebut ke beberapa teman sekelas saya. Terlihat konyolkah? Haha Meskipun kita berada di kota yang sama, namun saya dan beberapa teman sekelas saya sangat senang saling berkirim kartu ucapan selamat hari raya. Tentu, karena waktu itu kita masih sangat kecil, jadi kita tidak pernah berpikir tentang efisiensi, hehe.. Yang kita tahu, kita suka berkirim kartu ucapan dan sensasi dalam menunggu dan menerima kartu ucapan yang ditujukan kepada kita sangatlah luar biasa.

Namun, sekarang, saya sudah tidak pernah melakukan hal tersebut lagi. Kehadiran handphone telah mengubah segalanya. Tak ada lagi saling berkirim kartu ucapan, yang ada hanyalah saling berkirim pesan singkat berisi ucapan. Mungkin dulu, saat awal kita baru mengenal handphone, kita masih semangat merancang kata-kata indah ataupun lucu sebagai ucapan selamat hari raya pada sahabat dan sanak saudara. Saat menerima pesan sejenis, kita pun masih semangat untuk membalas. Tapi bagaimana dengan sekarang? Terakhir saya menerima pesan singkat ucapan seperti itu adalah tahun lalu. Dan rasanya sudah tidak seperti saat saya baru mengenal handphone. Kini sudah tidak ada lagi sensasi khusus dalam menerima ucapan selamat hari raya. Mayoritas pesan yang saya terima itu layaknya broadcast, yang sekali tekan bisa dikirim ke banyak orang, dengan isi pesan yang sama, tanpa ada nama penerima pesan yang dituju. Tentu esensinya sangat berbeda.

Yah, itulah salah satu bentuk digitalisasi yang kita rasakan. Dari kartu ucapan berbentuk kertas yang berubah menjadi pesan singkat berisi ucapan. Saya setuju bahwa digitalisasi memang menawarkan kemudahan dan biaya yang lebih rendah. Namun, kembali lagi pada pertanyaan awal saya di atas, apakah kehidupan seperti ini yang benar-benar kita inginkan?

Tidak seperti Azrul Ananda yang dengan tegas dan jelas, menolak untuk hidup dalam dunia digital. Saya pribadi masih mau mengikuti perkembangan dunia digital, namun dengan lebih bijaksana tentunya. Karena kita yang seharusnya mengontrol teknologi, bukan teknologi yang mengontrol kita. Dunia tanpa digital sangatlah menyenangkan, namun dunia dengan digital cukuplah membantu kita. Jadi, menurut saya, kita tidaklah harus memilih salah satu. Menyeimbangkan keduanya dalam kehidupan kita tentu akan lebih baik. Dengan kata lain, kita harus sadar dan tahu, kapan kita harus hidup di dunia tanpa digital dan kapan kita bisa kembali ke dunia digital guna membantu sebagian pekerjaan kita.

Saya tergolong orang yang cukup melek teknologi. Namun justru ketika kita benar-benar paham tentang dunia digital tersebut, kita bisa memilah dengan sendirinya, sebenarnya apa yang baik untuk kita dan apa yang kurang tepat. Saat ini saya menggunakan smartphone untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Pada waktu bekerja, saya selalu menyalakan handphone saya dan mengaktifkan koneksi internet saya. Segala macam media sosial saya dalam keadaan stand by. Jadi jika ada yang menghubungi saya, misalkan melalui whatsapp, facebook, LINE, twitter, atau bahkan email, notifikasi baru akan muncul sehingga saya bisa membalas pesan dengan lebih cepat. Namun ketika saya sudah pulang ke rumah dan merasa butuh istirahat, terkadang saya tidak segan untuk mematikan alat komunikasi saya dengan tujuan agar badan saya bisa istirahat 100%, dan secara tidak langsung sebenarnya juga agar handphone saya bisa istirahat 100% pula. Kita manusia ciptaan Tuhan saja kalau terlalu berlebihan dalam bekerja juga bisa sakit kan? Apalagi handphone yang hanya buatan manusia, daya tahannya tentu sangat kecil. Oleh sebab itu, terkadang kita juga perlu mengistirahatkan segala macam gadget kita.

Saat saya merasa rindu pada kawan lama, saya akan memanfaatkan teknologi untuk menghubungi mereka, entah melalui pesan singkat maupun media sosial mereka. Namun jika saya rindu berbincang lama dengan mereka, tentu saya akan mengajak mereka bertemu langsung agar kita bisa mengobrol secara langsung. Jujur saja, saya juga bukan tipe orang yang suka berbincang banyak melalui media sosial, kecuali jika dalam kondisi-kondisi tertentu. Apabila kita punya kesempatan untuk bertemu, tentu lebih baik bertemu dan bertatap muka, dibandingkan hanya berbincang dengan layar handphone.

Pada beberapa kasus, saya memang memilih untuk terjun ke dunia digital, contohnya seperti dalam hal pekerjaan. Namun untuk hal yang bersifat pribadi, tentu saya akan memilih dunia tanpa digital. Sebab, kedekatan antar manusia itu hanya dapat tercipta dari koneksi langsung. Jika kita ingin lebih erat dengan sahabat, keluarga, maupun orang-orang spesial kita, tentu kita butuh menyapanya secara langsung bukan? Esensi saat bertatap muka langsung dengan seseorang tentu berbeda dengan saat kita hanya mampu menatap layar gadget.

Jadi, dunia dengan atau tanpa digital, itu adalah pilihan kita masing-masing. Kita yang lebih tahu apa kebutuhan kita, kita juga yang lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.


So, dunia tanpa digital? yes or no? Think it wisely. J


You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter