To Travel Is To Live (Medan Tanahnya Orang Batak)

18.24



"One's destination is never a place, but a new way of seeing things"
-Henry Miller-


Have you ever been in a deep love with your motherland? If you do, sure you'll know well what I was feeling. Always keep in mind what you'd seen and what you'd experienced when you got travel around the nation. Then you'll realize that you gained a lot. 

Minggu lalu saya memperoleh kesempatan untuk bisa melihat dan mengenal tanah air Indonesia dengan lebih dalam. Meskipun judul keberangkatan saya kali ini adalah untuk perjalanan dinas, namun saya tidak ingin pulang hanya dengan berbekal ilmu yang berkaitan dengan pekerjaan. But I need more than it.

Tanggal 27 Agustus 2015, saya terbang dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten menuju Bandara Internasional Kualanamu, Medan, Sumatera Utara. Sejak pertama kali keluar dari kos, saat itulah the real tourism experienced dimulai. Tujuan dalam berwisata dibedakan menjadi dua, yaitu for business purpose and leisure. Keberangkatan saya kali ini tentu untuk tujuan bisnis, yaitu melakukan kunjungan ke Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara di Medan dalam rangka sosiali dukungan publikasi dari Kementerian Pariwisata untuk event-event pariwisata yang diselenggarakan oleh daerah. Saya in charge di bagian publikasi media elektronik, jadi saya bertugas untuk memberi informasi bagi Dinas Pariwisata daerah bahwa jika mereka ingin menyelenggarakan event pariwisata di daerahnya, maka pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian Pariwisata) siap memberikan dukungan, salah satunya melalui bantuan publikasi TVC event di stasiun TV Nasional. 

Well, awal perjalanan memang baru dimulai saat saya keluar kos pukul 03.30 pagi (dini hari) menuju Stasiun Gambir. Dari St. Gambir saya naik bus Damri jurusan Bandara Internasional Soekarno Hatta. Untuk jadwal dini hari, bus berangkat setiap 30 menit. Sedangkan di atas jam 6 pagi hingga malam, bus bisa berangkat setiap 15 menit sekali. Jadi jangan khawatir bakal lama menunggu bus ya, karena fasilitas yang telah disediakan oleh Kementerian Perhubungan ini menurut saya sudah sangat baik dan memuaskan. Dengan hanya membayar tiket bus sebesar Rp 40.000,00 kita sudah bisa sampai dengan selamat di Bandara dalam waktu sekitar 30-45 menit dari St. Gambir. Kondisi bus jenis eksekutif yang selalu terawat ini mampu membuat penumpang nyaman selama perjalanan. So, daripada ke Bandara naik kendaraan pribadi ataupun taksi, saya sarankan lebih baik naik bus Damri ini aja dah, sangat recommended!

Sesampainya di bandara, saya turun di Terminal 2F, yaitu terminal keberangkatan untuk maskapai Garuda Indonesia. Setelah terpuaskan dengan pelayanan transportasi oleh Bus Damri, maka kali ini saya akan mulai menikmati pengalaman dalam menggunakan jasa transportasi dari maskapai lokal kita, yaitu Garuda Indonesia. Mulai dari proses check in hingga akhirnya boarding, sejujurnya saya tidak melihat banyak perbedaan dengan proses yang saya alami ketika menggunakan maskapai penerbangan lainnya. Namun, the real experienced maybe just begin when we entered the aircraft. Saya sangat bisa merasakan keramahan para pramugara dan pramugari maskapai Garuda Indonesia. Mulai mereka menyambut kedatangan penumpang yang masuk ke dalam pesawat, menyajikan permen dan makanan, hingga dalam memperingatkan penumpang untuk memasang seatbelt maupun menonaktifkan telepon genggam selama penerbangan berlangsung, all that stuffs had been done by Indonesian hospitality, keramahan yang sangat khas Indonesia. Bahkan saat pesawat sudah take off, maskapai ini juga tidak lupa memanjakan penumpangnya dengan musik tradisional Indonesia yang dikemas dengan lebih elegan melalui arasemen orkestra serta tersedianya sarana layar hiburan di setiap masing-masing tempat duduk penumpang. Amazing! I give them 9 for all the experienced I got

Sekitar 120 menit berada di udara, akhirnya saya beserta rombongan mendarat di Bandara Internasional Kualanamu, Medan, Sumatera Utara. Sejujurnya, saya sangat excited untuk bisa merasakan pengalaman naik kereta bandara Kualanamu yang hanya ada satu-satunya di Indonesia. Namun sayang, karena rombongan sudah memesan mobil sewaan, sayapun kemudian harus memendam keinginan itu untuk sementara waktu. It's okay, I'll try that one later, next vacation maybe, hehe.. Dari bandara menuju pusat kota Medan, kami membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan. Sesampainya di Kota Medan, saya beserta rombongan mampir sarapan terlebih dahulu di Soto Kesawan Jl. Diponegoro, tepat di seberang Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Soto Kesawan ini merupakan salah satu makanan khas Medan. Dari penampakan dan rasanya, menurut saya mirip dengan Soto Betawi, jadi di dalam kuah soto ada campuran susunya. Overall rasanya cukup enak. Kenapa hanya cukup enak? Karena bagi saya, Soto Lamongan itu tetap yang terbaik lah, hahaha..

Selesai sarapan, kami tinggal menyeberang ke depan, menuju Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Kantor dinas ini ditempatkan di bangunan belanda yang kuno, bahkan menurut saya sebenarnya sangat artistik. It will be great kalau bangunannya dirawat dan dikelola dengan baik. Masuk ke kantor dinas, kami langsung minta untuk diarahkan ke bagian pemasaran. Di sana kami bertemu dengan beberapa staff dinas dan mulai berbincang, baik mengenai permintaan data media cetak yang dimiliki oleh dinas, tentang event pariwisata terdekat yang akan diselenggarakan oleh dinas maupun sosialisasi mengenai adanya bantuan publikasi event di media elektronik maupun media online yang bisa diberikan bagi dinas, terutama terkait event daerah yang akan dilaksanakan. Pihak dinas sendiri menyambut kedatangan kami dengan baik. Mereka sangat antusias dengan adanya rencana dukungan publikasi yang akan diberikan pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) bagi event di daerah mereka. Oleh sebab itu, yang harus terus kami lakukan saat ini adalah menjada koordinasi antara pusat dan daerah agar dapat terus berkomunikasi dengan baik. 

Di hari kedua (tanggal 28 Agustus 2015) saya bersama rombongan melakukan kunjungan ke Danau Toba. Dari pusat kota Medan, kami sengaja mengambil jalur lewat Brastagi karena kami ingin berputar arah agar bisa ke Pulau Samosir terlebih dahulu baru setelah itu menyeberang ke Parapat. Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Medan dan Danau Toba. Tentu bagi saya, ini akan menjadi pengalaman tidak terlupakan. Dan ternyata benar, sepanjang perjalanan menuju Samosir, mata, hati dan pikiran saya tidak lelahnya dibuat kagum oleh alam pulau Sumatera Utara. Sekali lagi, Sumatera memang mampu memikat hati saya dengan erat setelah kunjungan pertama saya ke Pulau Sumatera di Bukit Tinggi, Padang, Sumatera Barat dua tahun lalu.

Di sepanjang perjalanan kami disuguhi oleh pemandangan alam yang luar biasa, pepohonan nan hijau di sebelah kiri maupun kanan, terkadang juga tertangkap oleh mata pemandangan pegunungan yang menyejukkan, bahkan tidak jarang juga kami melihat monyet-monyet liar yang sedang asik menikmati buah jeruk di pinggir jalan. Benar-benar surganya Indonesia. Tidak hanya tentang alam sebenarnya, namun juga tentang manusia-manusia yang ada di sekitarnya. Mereka juga tidak kalah membuat saya terpikat untuk bisa mengamatinya. Selama perjalanan, tidak jarang kami melewati perkampungan penduduk. Di situ saya bisa melihat bagimana penduduk daerah pegunungan itu dalam mengunakan kemampuannya untuk bercocok tanam. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan tanaman buah-buahan dan sayuran di pinggir jalan atau tak jarang pula bahkan tanaman kopi yang ditanam penduduk di pekarangan depan rumah sehingga kalau ada orang iseng yang ingin memetikpun juga bisa, hehe.. Salah satu kopi yang paling terkenal di dataran tanah batak adalah Kopi Robusta Sidikalang.

Selain menikmati hasil alamnya, terkadang hati saya juga sangat tersentuh ketika harus melihat anak-anak kecil yang berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, ada yang memakai alas sandal maupun sepatu, tapi tidak sedikit pula yang memilih berjalan tanpa alas kaki. Padahal kondisi jalan di sekitar rumah mereka menuju sekolah tentu juga belum tentu mulus beraspal, namun masih terjal bebatuan. Di samping itu, ada juga sebagian besar di antara mereka yang menggunakan transportasi angkutan umum. Namun yang membuat hati trenyuh adalah ketika sangat banyak anak-anak kecil yang bergelantungan di angkutan umum (ada yang duduk di atas angkutan umum, ada yang di pintu) dan membahayakan diri mereka sendiri hanya supaya bisa segera sampai ke sekolah dengan tepat waktu. Sungguh beruntunglah kita yang tinggal di Pulau Jawa dengan fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang ada di luar Pulau Jawa. Dari titik inilah, saya mulai menyadari bagaimana sangat tidak meratanya kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini. Jadi, sudahkah kita bersyukur dengan nikmat yang telah Allah SWT karuniakan kepada kita?  

-&-

Berangkat dari jam 5 pagi, sekitar pukul 1 siang barulah saya beserta rombongan sampai di Samosir. Total 8 jam perjalanan kami tempuh untuk bisa melihat kekayaan alam Indonesia di tanah batak ini. Ada salah satu kawan saya sesama CPNS Kementerian Pariwisata yang juga asli Samosir. Setelah merasakan sendiri perjuangan menuju Samosir, saya jadi semakin kagum dengan orang-orang asli Samosir yang bisa sukses di tanah Jawa seperti kawan saya itu. Kenapa? Karena perjuangan mereka untuk bisa sukses di tanah orang sangatlah besar. Dari tempat tinggalnya saja di Samosir mereka bisa menempuh perjalanan berjam-jam ke pusat kota Medan, belum lagi jika mereka merantau keluar kota Medan. Bahkan banyak yang bilang, memang kalau anak asli daerah seperti Samosir yang bisa sukses di kota besar, maka tentu akan sangat dihargai sekali karena perjuangan mereka dalam meraih kesuksesan itu juga tidaklah kecil. Sekali lagi, jadi, pantaskah kita menyombongkan diri jika kita bisa sukses di tanah sendiri? Padahal di tanah sendiri ini kita juga telah dilengkapi dengan fasilitas yang sangat lengkap. 

-&-

Tujuan pertama di Pulau Samosir adalah Tele, Samosir. Daerah ini terletak di ketinggian (atas permukaan air laut). Banyak yang merekomendasikan tempat ini karena dari sini kita bisa menikmati pemandangan Danau Toba secara keseluruhan dari atas. Namun sayang, ketika kami sampai di Tele, kabut asap kiriman dari Riau menyelimuti pemandangan di bawah sehingga Danau Toba tidak terlihat sama sekali. Jadilah kami hanya bisa menikmati pemandangan bunga-bunga cantik di sekitar Tele dan pemandangan pegunungan yang sedikit terlihat. Dari Tele, kami meluncur ke Museum Huta Bolon. Di Museum ini terdapat banyak sekali replika rumah adat batak dan juga ada Sigale-Gale, yaitu boneka asli batak. Konon katanya, pada jaman dahulu, boneka Sigale-Gale ini diukir oleh masyarakat Batak untuk menghibur Raja mereka yang baru saja kehilangan anak semata wayangnya. Seharusnya ada pertunjukkan Sigale-Gale yang bisa kami saksikan, tetapi ternyata jadwal pertunjukkan hanya ada di akhir pekan. Akhirnya ngacir deh kita. Kecewa sih iya, karena kita sudah sampai di situ, tapi tidak mendapatkan pelayanan yang baik dan sesuai ekspektasi. Kondisi Museum Huta Bolon sendiri menurut saya memang agak memperihatinkan. Ada salah satu replika rumah adat yang roboh dan akhirnya ditutup oleh kain. Ketika ada turis asing, tidak ada pemandu pariwisata yang stand by untuk bisa menjelaskan tentang Museum kepada turis asing tersebut. Selain itu juga tidak ada jadwal yang jelas tentang pertunjukkan Sigale-Gale. Hal-hal tersebut tentu dapat menciptakan kenangan buruk bagi wisatawan. Padahal salah satu sapta pesona dalam pariwisata adalah kenangan, yaitu dengan menciptakan kenangan yang baik, bahkan beyond the expectation sehingga wisatawan bisa kembali lagi ke tempat wisata tersebut.

Selepas dari Museum Huta Bolon, kami berencana untuk langsung menyeberang ke Parapat. Tetapi sepertinya dewi fortuna belum berpihak pada kita. Akhirnya kami harus menunggu sekitar 2 jam agar bisa menyeberang karena kapal ferry yang beroperasi hanya satu, sehingga waktu tunggu kami semakin lama. Sambil menikmati pemandangan Danau Toba dari Pelabuhan Tomok, kami menyantap buah durian asli Medan. Kota ini memang terkenal dengan durian Medannya. Maka tidak salah kalau salah satu oleh-oleh wajib dari Medan adalah buah durian. Sekitar pukul 6 sore, kapal ferry kami mulai merapat ke Pelabuhan Tomok. Saya pun bersemangat untuk segera naik ke kapal. Wujud kapal ferry yang kami tumpangi tidak jauh beda dengan yang pernah saya naiki saat menuju Pulau Bali dari Banyuwangi dulu. Satu kapal ferry bisa memuat 10-15 kendaraan roda empat. Cukup besar memang sehingga membuat ombak danau tidak terasa. Dari atas kapal, kami mulai tertarik dengan anak-anak kecil penangkap koin yang berenang di samping kapal. Melihat mereka sangat semangat dalam menangkap koin, saya beserta rombongan juga ikut melempari mereka koin. Selain itu saat kapal sudah mulai jalan, kami dikejutkan dengan nyanyian khas batak yang dinyanyikan oleh 3 anak kecil asli Samosir. Saya rasa, ada saja yang bisa mereka lakukan ya untuk mencari uang, baik dengan menjadi penangkap koin maupun penyanyi kapal, namun bagi saya mereka adalah anak-anak yang hebat. Mungkin mereka memang tidak dimanjakan oleh fasilitas seperti kita kebanyakan, namun mereka tetap mau mengenal kata berjuang sejak kecil, salah satunya berjuang memperoleh uang dengan cara yang halal. 

-&-

Perjalanan saya di Sumatera Utara kali ini memang sangat berkesan. Saya tidak hanya bisa menikmati keindahan alam Indonesia yang lain, namun juga kekayaan Indonesia yang sesungguhnya, yaitu sumber daya manusia asli Indonesia. Sangat bangga bisa melihat anak-anak kecil di Samosir yang selalu semangat menuntut ilmu di sekolah meski untuk sampai ke sekolah mereka harus berjalan jauh tanpa alas kaki atau bahkan bergelantungan di pinggir pintu angkutan umum yang tentu membahayakan keselamatan diri mereka. Sangat bangga pula saya bisa melihat bagaimana anak-anak kecil Samosir yang semangat berjuang mencari uang dengan cara yang halal seperti menjadi penangkap koin maupun penyanyi kapal. Ketika melihat mereka, saya seperti melihat adik saya sendiri. Saya punya adik seusia mereka. Namun mungkin adik saya dan saya saat kecil dulu masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan anak-anak Samosir. Meskipun saya dan adik saya tinggal di kota yang kecil seperti Madiun, namun kami tidak sampai harus berjalan kaki tanpa alas untuk bisa pergi ke sekolah. Kami beruntung masih bisa diantar jemput oleh orang tua kami atau bahkan bisa naik sepeda sendiri ke sekolah yang hanya berjarak kurang dari 3 km dari rumah. Kami juga diberi uang saku secara rutin oleh ornag tua selama kami sekolah, sehingga kami tidak perlu bersusah payah jadi penangkap koin maupun pengamen di kapal seperti anak-anak Samosir itu. Sungguh beruntungnya kami.

Indonesia telah mengajari saya banyak hal. Tentang alamnya, tentang masyarakatnya. Lalu, apakah saya masih mempunyai alasan untuk tidak mencintai tanah air saya ini dengan lebih dalam lagi? To be honest, the more I travel, the more I can see my world widely. Indonesia itu memang luas dan beraneka ragam. Indonesia itu bukan hanya tentang Jawa, pariwisata Indonesia juga bukan hanya tentang Bali, tapi masih ada Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua.

Pada tanggal 29 Agustus 2015, saya bertolak kembali ke Jakarta. Tanah Batak telah menciptakan memori yang indah di dalam hati dan pikiran saya. Someday I will be back, of course. See you again, Medan! Horras!
      

You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter