Beasiswa S2 - Antara Impian dan Perjuangan

12.54



Impian melanjutkan studi ke luar negeri memang sudah ada di benak saya sejak saya masih menempuh pendidikan S1 dulu. Kalo yang ngikutin blog saya dari awal, pasti tau kan saya pernah magang juga di IOP (International Office and Partnership) Universitas Airlangga. Bisa dibilang dalam periode magang itu, yang ada semangat saya untuk apply beasiswa ke luar negeri semakin besar. Pernah beberapa kali saya ikut serta jadi volunteer tes beasiswa LPDP yang diadakan di Kampus C, Universitas Airlangga. Dari pengalaman jadi volunteer itu, saya mulai mengenal beberapa beasiswa S2 di luar negeri, termasuk LPDP. Bahkan saya pernah ketemu temen SMA yg ikut tes beasiswa LPDP juga dan akhirnya lolos, dari situ saya semakin termotivasi, kalau mereka bisa, saya juga pasti bisa.
Setelah lulus S1, saya coba cari-cari info lebih detil lagi tentang beasiswa S2, mulai dari LPDP, Australia Awards Scholarship (AAS), Chevening, Nuffic Neso, Eramus hingga beasiswa di negara Asia seperti Thailand, Korea, Jepang dan China. Dari beberapa beasiswa tersebut, yang menjadi fokus saya adalah LPDP dan AAS, karena saya udah mulai paham proses seleksi LPDP dan yang ada di bayangan saya saat itu adalah ingin melanjutkan kuliah ke Australia (terinspirasi dari Pak Sony, dosen pembimbing di kampus yang lulusan Australia, hehe).

Ternyata paham proses seleksi gak menjamin bisa melancarkan jalan kita menuju impian. Sejak tahun 2014, saya belum berani nyoba apply LPDP. Selalu maju mundur kalo mau apply. Udah bikin akun di situs beasiswa LPDP, tapi belum berani nyoba apply juga. Pertimbangannya adalah ada syarat nilai bahasa Inggris min 550 (TOEFL ITP) atau 6,5 (IELTS) untuk aplikasi ke universitas luar negeri. Kondisi saat itu, skor TOEFL ITP saya masih sekitar 530. Beberapa kali tes ulang, hasilnya tetep segitu. Karena mentok di nilai bahasa Inggris, akhirnya saya mempertimbangkan apply beasiswa AAS yang minimum syaratnya sesuai dengan kondisi saya, yaitu TOEFL ITP skor 530. 

Percobaan ke-1 AAS di tahun 2014. Waktu itu baru lulus kuliah, masih pegang Surat Keterangan Lulus (SKL) dan belum pegang ijazah, tapi nekat apply. Jaman-jaman aplikasi AAS masih harus dikirim hardcopynya ke Jakarta. Saya inget banget, setelah selesai sidang skripsi, saya langsung siapkan segala dokumen administrasinya dan minta surat rekomendasi dari Pak Sony. Ketika melihat aplikasi beasiswa saya, Pak Sony cuman bilang kalo saya gak akan lulus karena beasiswa AAS itu yang dicari lebih banyak dari NGO atau punya social project, sedangkan saya belum ada bekal dan arahnya masih belum jelas. Alhasil, yang disampaikan Pak Sony memang benar, saya gak lolos alias gatot (gagal total), hehe..

Pengumuman hasil seleksi AAS 2014

Dari situ saya mulai memahami, kayaknya saya emang perlu pengalaman kerja dulu biar tau urgensi melanjutkan pendidikan di luar negeri itu apa. Jadinya saya fokus melamar pekerjaan. Sambil melanjutkan magang di IOP, saya juga apply kerja ke beberapa instansi dan perusahaan swasta hingga akhirnya saya melabuhkan perjuangan dalam melamar pekerjaan di Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

Selama kerja di Kemenpar, saya berusaha menikmati proses yang ada. Di antara masa-masa kerja tersebut, kadang masih terbersit impian buat S2 di luar negeri. Namun setelah memutuskan untuk menikah, angan-angan itu jadi menciut lagi. Mungkin karena pertimbangan keluarga, jadi mikir kalau mau lanjutkan sekolah, di dalam negeri aja deh gak apa-apa. Karena saya juga masih belum percaya diri sama kemampuan bahasa Inggris saya.

Empat tahun berlalu, sampai akhirnya saya lolos beasiswa Short Term Awards AAS di tahun 2019. Sepertinya itu jadi titik balik saya. Bertemu dengan teman-teman awardee beasiswa yang luar biasa ditambah semangat yang terus diberikan oleh tim Australia Awards Indonesia (AAI), bikin saya jadi pengen apply beasiswa S2 lagi. Apalagi temen-temen di kantor beberapa udah ada yang sukses lolos beasiswa S2, jadi makin ketrigger

Di Pre Course, tim AAI selalu mendorong kita buat apply Long Term Awards AAS. Meskipun status awardee Short Term Awards gak menjamin untuk lolos Long Term Awards, tetep aja sih saya jadi semangat lagi. 

Pada saat On Course, ada beberapa kawan awardee yang juga alumni Long Term Awards seperti Mami Fendy dari Kupang, NTT. Saat itu kami lagi ada agenda di kawasan destinasi Great Barrier Reef. Dalam perjalanan pulang di kapal Quicksilver, Mami Fendy sharing tentang pengalamannya lolos beasiswa Long Term Awards AAS dan segala manfaat menjadi awardee selama S2 di Australia. 

Kemudian pada saat Post Course dan selesai periode beasiswa, ada Caca Abhul dari Makassar yang gak pernah berhenti memotivasi dan bilang jika saya apply beasiswa insyaallah pasti bisa lulus.

Percobaan ke-2 AAS di tahun 2019. Sebenarnya waktu pulang dari On Course 2 minggu di Australia, saya langsung ngebut bikin aplikasi. Deadline tinggal 2 minggu kalo gak salah. Saya ambil tes IELTS dengan persiapan minim dan memperoleh hasil overall band 6.0. Setelah itu isi-isi aplikasi, kirim. Karena buru-buru dan tanpa persiapan matang, bisa ditebak kan hasilnya gimana? Gagal untuk yang kedua kalinya :D

Pengumuman hasil seleksi AAS 2019

Kebetulan di tahun 2019 saya mulai intens komunikasi kembali dengan Pak Sony. Waktu ketemu, cerita dong kalau saya apply AAS yang Long Term Awards lagi. Yang ada saya diomelin karena gak kabar-kabar bapaknya. "Tau gitu kan bisa dibimbing", kata Pak Sony. Hehehe, iya, maaf ya pak, saya serba mendadak waktu itu, janji deh abis ini disiapkan bener-bener.

Akhir 2019 saya mulai serius belajar IELTS. Menurut hasil riset tentang lembaga belajar IELTS yang recommended, akhirnya saya memutuskan untuk ambil les IELTS 2 minggu di IALF Kuningan Jakarta. Pertama masuk, takjub sama temen sekelas. Di saat saya target abis les dapet overall band 6.5, temen-temen sekelas yang lain targetnya 8 atau bahkan 9. Luar biasa emang, antara jadi makin ciut gak pede sama yang lain atau malah lebih termotivasi >,<. Dari les 2 minggu tersebut, saya jadi makin paham karakteristik soal-soal di IELTS, emang beda sih sama TOEFL. Setelah les, ambil tes IELTS lagi, eh hasilnya gak jauh beda sama bulan April 2019, overall masih 6. 

Rasanya pengen nangis, huaa.. Tapi perjuangan baru mulai masak udah nyerah. Akhirnya saya lebih seriusin lagi belajar IELTSnya. Saya nonton video tentang IELTS (paling suka dan mudeng video IELTS Liz dan Fastrack IELTS), latian soal-soal IELTS pake softcopy buku IELTS Cambridge, dengerin podcast bahasa Inggris yang British accent dan ambil les IELTS lagi di IALF yang 5 minggu :D.

Saya sengaja ambil jadwal les kedua ini sore hari pas pulang kerja biar lebih fokus, soalnya kalo ambil jadwal malam takut ngantuk, hehe.. Selama 5 minggu, belajar makin intens, dan cukup struggle juga karena harus pecah konsentrasi dengan pekerjaan. Apalagi saat itu udah mulai masuk musim hujan, jadi perjuangannya makin berat. Periode les selesai, saya daftar tes IELTS lagi. O iya, untuk tes IELTS di tahun 2019 saya nyoba ambil yang computer based dengan pertimbangan hasilnya lebih cepat keluar. Namun selain itu saya juga lebih nyaman sih karena tinggal ketik dan klik, gak perlu ribet sama kertas dan alat tulis lagi. Alhamdulillah, perjuangan gak menghianati usaha. Hasil tes IELTS saya di Des 2019 overall udah 7.0. 

-&-


to be continue..

You Might Also Like

0 comments

Followers

Twitter